Jumat, 18 November 2011

The Voices *part 1*

Matahari benar-benar kejam siang ini. Panasnya bercampur dengan kepulan asap kendaraan yang terbatuk-batuk di jalan raya. Mungkin inilah contoh dari neraka dunia.
Berkali-kali gadis berbaju formal itu mengelap wajahnya dengan tisue. Sudah tiga bungkus tisu ia habiskan untuk 4 jam ini. Lain kali, ia berencana untuk membawa tisue toilet saja. Supaya suaranya bisa dihemat. Maklumlah, untuk mendapatkan tisue itu, ia harus berteriak memanggil pedagang asongan. Bertanding dengan suara kernet-kernet bemo, raungan motor pretelan dan klakson-klakson yang berdebat.
Bedak tipis yang ia poleskan tadi pagi, sudah luntur oleh aliran keringatnya yang menganak sungai. Alhasil, mukanya sedikit belang-belang. Sialnya, kulitnya yang hitam manis itu tidak bisa menyembunyikan kelunturan make up yang mendempul di wajahnya.
Jam tangan harga 100.000 yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul 12.30. Lewat sedikit dari tengah hari. Setelah menarik nafas panjang, ia kembali berjalan. Meneruskan langkahnya yang lumayan tertatih oleh high heels 5 centi-nya.
Berjalan di tengah kota yang mencekik dengan panasnya bukanlah hal yang mudah. Ia pun mengeluarkan map yang berisi aplikasi dirinya. Dijadikannya map itu kipas. Seraya berjalan, tangannya mulai mengipas-ngipas. Tidak cukup sejuk. Namun, bisa mengurangi sedikit penguapan dari tubuhnya.
Tiba-tiba, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Angin berhembus sangat kencang. Menerbangkan lembaran-lembaran aplikasi yang terselip di mapnya. Ia, hanya bisa melongo melihat lembaran-lembaran itu berterbangan dari mapnya. Tenaganya sudah cukup terkuras selama berjalan tadi. Apalagi, ia belum makan siang. Walaupun sedikit tak rela, iapun menyetop taksi lalu pulang lebih awal ke rumahnya.
...
Wajah lelaki itu tersembunyi separuhnya di belakang kamera yang ia pegang. Lensa kameranya, tidak membidik sesuatu yang berarti. Hanya rumput-rumput bergoyang dengan sudut yang tak diperhatikan. Sebagai kameraman amatiran, hal ini tidak akan membuang-buang waktunya. Jadi tak masalah.
Di sudut kota yang tercekik matahari, ia bisa menemukan tempat kecil yang masih hijau permai. Dengan hamparan rumput seperti lapangan golf. Padahal ini bukan lapangan golf. Tempat ini, tempat favoritnya semenjak ia remaja. Menghirup oksigen di sini akan lebih tenang daripada bernafas di zebra cross kotanya.
Tiba-tiba angin bertiup dengan keras. Selembar kertas dengan sukses mendarat di kameranya, menutupi lensa yang sudah siap membidik batang rumput kecil di ujung sana.
"Nonika Agluiera..."
Sekejap saja, kabel-kabel memorinya mengantarkan sebuah kenangan kecil yang tak kan terhapus di perjalanan hidupnya. "Diakah itu," bisik batinnya. 
Rian, nama pemuda itu. Segera membereskan peralatan kameranya. Lalu menuju ke alamat yang tertera di kertas putih itu.
Ia pacu porsche putihnya...
Benarkah itu dia??

Miss Ariesandy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar